Situ Bagendit (cerita rakyat
jawa barat)
Sebelah Utara kota Garut terdapat sebuah Situ yang bernama
Situ Bagendit. Indahnya alam situ ini telah membuat Situ Bagendit terkenal
sebagai tempat rekreasi yg menyenangkan.
Konon beribu-ribu tahun yang lalu sebelum Situ Bagendit menjadi “Situ”, tempat
itu merupakan dataran desa yg subur dan seorang janda kaya bernama Nyi Endit yg
paling berkuasa dan ditakuti di desa tersebut.
Kekayaan yg berlimpah-limpah ia gunakan untuk modal dipinjamkan kepada penduduk
dengan bunga yg amat tinggi. Untuk keamanan pribadinya, Nyi Endit memelihara
beberapa orang jago sebagai tukang kepruk. Jago-jago itu selain bertindak
sebagai pengawal pribadi Nyi Endit, juga bertugas sebagai “penagih paksa”
mereka yg meminjam uangnya dan pada waktunya tak mau membayar utangnya.
Apabila musim panen tiba, dihalaman rumah Nyi Endit (yg lebih pantas disebut
istana) penuh padat oleh hasil pertanian, terutama padi.
Pada suatu ketika datang musim kemarau yg amat panjang, yg mengakibatkan musim
paceklik pun tiba, yg menyengsarakan petani-petani yg hidupnya sudah amat
melarat. Dalam tempo yg singkat, penyakit kelaparan menghantui penduduk. Hampir
setiap hari selalu ada kabar kematian penduduk karena kelaparan.
Tapi keadaan di istana tuan tanah dan lintah darat Nyi Endit justru sebaliknya.
Hampir seminggu sekali pesta-pesta bersama sanak keluarga dan kerabatnya tetap
diselenggarakan.
“saudara-saudara makan dan minumlah sepuas hati….. Malam ini
kita rayakan keuntungan besar yg ku peroleh dari hasil panen tahun ini..” kata
Nyi Endit sambil tersenyum di depan tamu-tamunya.
Tiba-tiba ditengah pesta itu muncul pengawal Nyi Endit dan menghadap perempuan
itu.
“Nyai, diluar ada pengemis yg maksa ingin masuk ruangan untuk minta sedekah..”
“apa? Pengemis? Tak ada sedekah yg aku berikan….. Usir dia..!” teriak Nyi
Endit.
Tapi ternyata yg dimaksud pengemis itu sudah ada di ruangan itu.
“nyi endit, kau memang benar-benar manusia kejam” kata pengemis tua itu.
“mau apa kau pengemis busuk? Pergi kau dari tempatku..!” dengan gusar Nyi Endit
membentak.
Namun pengemis itu tetap diam tak beranjak dari tempatnya. Kemudian ia berkata:
“tak mau memberi sedekah kepada manusia melarat macam aku?! Hmm… Sungguh
berkutuk hidupmu Nyi Endit..! Kau tega berpesta pora di tengah-tengah rakyat
kelaparan dan sekarat karena darahnya setiap hari kamu hisap. Betul-betul kau
lintah darat terlaknat..!!”
Mendengar ucapan pengemis tua itu Nyi Endit menjadi geram.
“binatang..! Anak-anak ayo kepruk dan cincang keledai tua itu..!” teriak Nyi
Endit menyuruh pengawalnya.
Serentak keempat pengawal Nyi Endit itu mencabut goloknya masing-masing dan
menyerbu pengemis tua itu. Tapi dalam sekali gebrak keempat pengawal itu
terlempar jatuh hingga beberapa meter.
Nyi Endit dan semua tamu yg hadir menjadi sangat terkejut, tak menduga si
pengemis itu memiliki kepandaian yg hebat.
“nyi endit, baiklah. Sebelum aku meninggalkan istanamu, karena ternyata kau tak
mau berbaik hati kepadaku dan manusia-manusia melarat lainnya. Aku ingin
memberikan pertunjukan padamu” kata pengemis itu seraya menancapkan sebatang
ranting ke lantai. “Nah sekarang cabutlah kembali ranting ini, bila tak sanggup
kau boleh mewakilinya kepada orang lain..! Bila kalian bisa mencabutnya,
betul-betul kalian adalah orang yg paling mulia di dunia ini..!!!”
Nyi Endit masih memandang enteng pengemis itu, tapi ia merasa penasaran untuk
mencabut ranting itu. Maka disuruh pengawalnya yg berbadan cukup kekar untuk
mencabutnya.
“he…he…he…he… Baik nyai, kukira tak ada sulitnya” kata pengawal itu dengan
sombong. Namun walau ia sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk mencabut
rating itu, sungguh ajaib rating itu tidak tercabut sesenti pun.
“nyi endit, ternyata andalanmu yg kau bayar mahal itu tak berarti apa-apa
bagimu. Lihatlah aku dengan mencabutnya…!!”.
Setelah berkata demikian, pengemis itu dengan mudah mencabut rating kayu itu.
Dan dari lubang bekas rating itu tertancap memancarkan air dengan derasnya….
“nyi endit, sudah saatnya kau mendapat hukuman karena dosa-dosamu memeras
penduduk” kata pengemis itu, kemudian secara samar-samar ia lenyap. Menghilang
entah kemana.
Dan kemudian terdengar ledakan hebat dibarengi dengan
menggelegaknya air yg keluar dari dalam tanah. Sementara diluar turun hujan
dengan lebatnya, diselingi guncangan-guncangan gempa bumi yg seakan akan
menarik desa itu kedalam perut bumi.
Dengan sekejap desa Nyi Endit yg malang itu sudah tergenangair bagai sebuah
danau kecil yg baru terbentuk. Sementara penduduk lainnya selamat. Karena
sebelum mala petaka itu terjai seorang pengemis misterius telah memberi tahu
mereka supaya segera mengungsi, karena akan terjadi malapetaka dan banjir
besar.
Demikianlah cerita tentang situ bagendit. Nama ini mungkin di ambil dari nama
Nyi Endit, agar orang-orang selalu sadar dan ingat akan nasib manusa yg tamak,
kikir dan serakah dengan memeras orang lain.
Menurut sebagian orang di Situ Bagendit, kini hidup seekor lintah sebesar
kasur. Katanya itu jelmaan Nyi Endit..
Timun Emas
Pada zaman dahulu,
hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan.
Mereka hidup bahagia.
Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.
Setiap hari mereka berdoa pada Yang
Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati
tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu
kemudian memberi mereka biji mentimun.
“Tanamlah biji ini. Nanti kau akan
mendapatkan seorang anak perempuan,” kata Raksasa. “Terima kasih, Raksasa,”
kata suami istri itu. “Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian
serahkan padaku,” sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang
anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.
Suami istri
petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat
tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah
sebuah mentimun berwarna keemasan.
Buah mentimun
itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka
memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya
mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik.
Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.
Tahun demi
tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya
sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang
tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih
janji untuk mengambil Timun Mas.
Petani itu
mencoba tenang. “Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan
memanggilnya,” katanya. Petani itu segera menemui anaknya. “Anakkku, ambillah
ini,” katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. “Ini akan menolongmu
melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin,” katanya. Maka Timun Mas pun
segera melarikan diri.
Suami istri
itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya
menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia
tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani
itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.
Raksasa
segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera
mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke
arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas
pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.
Timun Mas
berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas
kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai.
Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan
ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan.
Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.
Tapi Raksasa
sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun
mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib.
Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan
kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena
terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.
Timun Mas
kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis.
Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi
hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya
yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi
terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab
ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu
menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.
Timun Mas
lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan
Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya.
“Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku,” kata mereka gembira.
Sejak saat
itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup
bahagia tanpa ketakutan lagi.
ASAL
USUL DANAU TOBA
Cerita Rakyat Sumatra
Di sebuah desa di wilayah Sumatera, hidup seorang petani. Ia seorang petani
yang rajin bekerja walaupun lahan pertaniannya tidak luas. Ia bisa mencukupi
kebutuhannya dari hasil kerjanya yang tidak kenal lelah. Sebenarnya usianya
sudah cukup untuk menikah, tetapi ia tetap memilih hidup sendirian. Di suatu
pagi hari yang cerah, petani itu memancing ikan di sungai. “Mudah-mudahan hari
ini aku mendapat ikan yang besar,” gumam petani tersebut dalam hati. Beberapa
saat setelah kailnya dilemparkan, kailnya terlihat bergoyang-goyang. Ia segera
menarik kailnya. Petani itu bersorak kegirangan setelah mendapat seekor ikan
cukup besar.
Ia takjub melihat warna sisik ikan yang indah. Sisik ikan itu berwarna
kuning emas kemerah-merahan. Kedua matanya bulat dan menonjol memancarkan
kilatan yang menakjubkan. “Tunggu, aku jangan dimakan! Aku akan bersedia
menemanimu jika kau tidak jadi memakanku.” Petani tersebut terkejut mendengar
suara dari ikan itu. Karena keterkejutannya, ikan yang ditangkapnya terjatuh ke
tanah. Kemudian tidak berapa lama, ikan itu berubah wujud menjadi seorang gadis
yang cantik jelita. “Bermimpikah aku?,” gumam petani.
“Jangan takut pak, aku juga manusia seperti engkau. Aku sangat berhutang
budi padamu karena telah menyelamatkanku dari kutukan Dewata,” kata gadis itu.
“Namaku Puteri, aku tidak keberatan untuk menjadi istrimu,” kata gadis itu
seolah mendesak. Petani itupun mengangguk. Maka jadilah mereka sebagai suami
istri. Namun, ada satu janji yang telah disepakati, yaitu mereka tidak boleh
menceritakan bahwa asal-usul Puteri dari seekor ikan. Jika janji itu dilanggar
maka akan terjadi petaka dahsyat.
Setelah sampai di desanya, gemparlah penduduk desa melihat gadis cantik
jelita bersama petani tersebut. “Dia mungkin bidadari yang turun dari langit,”
gumam mereka. Petani merasa sangat bahagia dan tenteram. Sebagai suami yang
baik, ia terus bekerja untuk mencari nafkah dengan mengolah sawah dan ladangnya
dengan tekun dan ulet. Karena ketekunan dan keuletannya, petani itu hidup tanpa
kekurangan dalam hidupnya. Banyak orang iri, dan mereka menyebarkan sangkaan
buruk yang dapat menjatuhkan keberhasilan usaha petani. “Aku tahu Petani itu
pasti memelihara makhluk halus! ” kata seseorang kepada temannya. Hal itu
sampai ke telinga Petani dan Puteri. Namun mereka tidak merasa tersinggung,
bahkan semakin rajin bekerja.
Setahun kemudian, kebahagiaan Petani dan istri bertambah, karena istri
Petani melahirkan seorang bayi laki-laki. Ia diberi nama Putera. Kebahagiaan
mereka tidak membuat mereka lupa diri. Putera tumbuh menjadi seorang anak yang
sehat dan kuat. Ia menjadi anak manis tetapi agak nakal. Ia mempunyai satu
kebiasaan yang membuat heran kedua orang tuanya, yaitu selalu merasa lapar.
Makanan yang seharusnya dimakan bertiga dapat dimakannya sendiri.
Lama kelamaan, Putera selalu membuat jengkel ayahnya. Jika disuruh membantu
pekerjaan orang tua, ia selalu menolak. Istri Petani selalu mengingatkan Petani
agar bersabar atas ulah anak mereka. “Ya, aku akan bersabar, walau bagaimanapun
dia itu anak kita!” kata Petani kepada istrinya. “Syukurlah, kanda berpikiran
seperti itu. Kanda memang seorang suami dan ayah yang baik,” puji Puteri kepada
suaminya.
Memang kata orang, kesabaran itu ada batasnya. Hal ini dialami oleh Petani
itu. Pada suatu hari, Putera mendapat tugas mengantarkan makanan dan minuman ke
sawah di mana ayahnya sedang bekerja. Tetapi Putera tidak memenuhi tugasnya.
Petani menunggu kedatangan anaknya, sambil menahan haus dan lapar. Ia langsung
pulang ke rumah. Di lihatnya Putera sedang bermain bola. Petani menjadi marah
sambil menjewer kuping anaknya. “Anak tidak tau diuntung ! Tak tahu diri !
Dasar anak ikan !,” umpat si Petani tanpa sadar telah mengucapkan kata
pantangan itu.
Setelah petani mengucapkan kata-katanya, seketika itu juga anak dan istrinya
hilang lenyap. Tanpa bekas dan jejak. Dari bekas injakan kakinya, tiba-tiba
menyemburlah air yang sangat deras dan semakin deras. Desa Petani dan desa
sekitarnya terendam semua. Air meluap sangat tinggi dan luas sehingga membentuk
sebuah telaga. Dan akhirnya membentuk sebuah danau. Danau itu akhirnya dikenal
dengan nama Danau Toba. Sedangkan pulau kecil di tengahnya dikenal dengan nama
Pulau Samosir.
ASAL USUL TANGKUBAN PERAHU
Cerita Rakyat Jawa Barat
Di Jawa Barat tepatnya di Kabupaten Bandung terdapat sebuah tempat rekreasi
yang sangat indah yaitu Gunung Tangkuban Perahu. Tangkuban Perahu artinya
adalah perahu yang terbalik. Diberi nama seperti karena bentuknya memang menyerupai
perahu yang terbalik. Konon menurut cerita rakyat parahyangan gunung itu memang
merupakan perahu yang terbalik. Berikut ini ceritanya.
Beribu-ribu tahun yang lalu, tanah Parahyangan dipimpin oleh seorang raja
dan seorang ratu yang hanya mempunyai seorang putri. Putri itu bernama Dayang
Sumbi. Dia sangat cantik dan cerdas, sayangnya dia sangat manja. Pada suatu
hari saat sedang menenun di beranda istana, Dayang Sumbi merasa lemas dan
pusing. Dia menjatuhkan pintalan benangnya ke lantai berkali-kali. Saat
pintalannya jatuh untuk kesekian kalinya Dayang Sumbi menjadi marah lalu
bersumpah, dia akan menikahi siapapun yang mau mengambilkan pintalannya itu.
Tepat setelah kata-kata sumpah itu diucapkan, datang seekor anjing sakti yang
bernama Tumang dan menyerahkan pintalan itu ke tangan Dayang Sumbi. Maka mau
tak mau, sesuai dengan sumpahnya, Dayang Sumbi harus menikahi Anjing tersebut.
Dayang Sumbi dan Tumang hidup berbahagia hingga mereka dikaruniai seorang
anak yang berupa anak manusia tapi memiliki kekuatan sakti seperti ayahnya.
Anak ini diberi nama Sangkuriang. Dalam masa pertumbuhannya, Sangkuring se lalu
ditemani bermain oleh seekor anjing yang bernama Tumang yang dia ketahui hanya
sebagai anjing yang setia, bukan sebagai ayahnya. Sangkuriang tumbuh menjadi
seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa.
Pada suatu hari Dayang Sumbi menyuruh anaknya pergi bersama anjingnya untuk
berburu rusa untuk keperluan suatu pesta. Setelah beberapa lama mencari tanpa
hasil, Sangkuriang merasa putus asa, tapi dia tidak ingin mengecewakan ibunya.
Maka dengan sangat terpaksa dia mengambil sebatang panah dan mengarahkannya
pada Tumang. Setibanya di rumah dia menyerahkan daging Tumang pada ibunya.
dayanng Sumbi yang mengira daging itu adalah daging rusa, merasa gembira atas keberhasilan
anaknya.
Segera setelah pesta usai Dayang Sumbi teringat pada Tumang dan bertanya pada
pada anaknya dimana Tumang berada. Pada mulanya Sangkuriang merasa takut, tapa
akhirnya dia mengatakan apa yang telah terjadi pada ibunya. Dayang Sumbi menjadi
sangat murka, dalam kemarahannya dia memukul Sangkuriang hingga pingsan tepat
di keningnya. Atas perbuatannya itu Dayang Sumbi diusir keluar dari kerajaan
oleh ayahnya. Untungnya Sangkuriang sadar kembali tapi pukulan ibunya
meninggalkan bekas luka yang sangat lebar di keningnya.Setelah dewasa,
Sangkuriang pun pergi mengembara untuk mengetahui keadaan dunia luar.
Beberapa tahun kemudian, Sangkuriang bertemu dengan seorang wanita yang
sangat cantik. Segera saja dia jatuh cinta pada wanita tersebut. Wanita itu
adalah ibunya sendiri, tapi mereka tidak saling mengenali satu sama lainnya.
Sangkuriang melamarnya, Dayang Sumbi pun menerima dengan senang hati. Sehari
sebelum hari pernikahan, saat sedang mengelus rambut tunangannya, Dayang Sumbi
melihat bekas luka yang lebar di dahi Sangkuriang, akhirnya dia menyadari bahwa
dia hampir menikahi putranya sendiri. Mengetahui hal tersebut Dayang Sumbi
berusaha menggagalkan pernikahannya. Setelah berpikir keras dia akhirnya
memutuskan untuk mengajukan syarat perkawinan yang tak mungkin dikabulkan oleh
Sangkuriang. Syaratnya adalah: Sangkuriang harus membuat sebuah bendungan yang
bisa menutupi seluruh bukit lalu membuat sebuah perahu untuk menyusuri
bendungan tersebut. Semua itu harus sudah selesai sebelum fajar menyingsing.
Sangkuriang mulai bekerja. Cintanya yang begitu besar pada Sangkuriang
memberinya suatu kekuatan aneh. Tak lupa dia juga menggunakan kekuatan yang dia
dapat dari ayahnya untuk memanggil jin-jin dan membantunya. Dengan lumpur dan
tanah mereka membendung air dari sungai dan mata air. Beberapa saat sebelum
fajar, Sangkuriang menebang sebatang pohon besar untuk membuat sebuah perahu.
Ketika Dayang Sumbi melihat bahwa Sangkuriang hampir menyelesaikan
pekerjaannya, dia berdoa pada dewa-dewa untuk merintangi pekerjaan anaknya dan
mempercepat datangnya pagi.
Ayam jantan berkokok, matahari terbit lebih cepat dari biasanya dan
Sangkuriang menyadari bahwa dia telah ditipu. Dengan sangat marah dia mengutuk
Dayang Sumbi dan menendang perahu buatannya yang hampir jadi ke tengah hutan.
Perahu itu berada disana dalam keadaan terbalik, dan membentuk Gunung Tangkuban
Perahu(perahu yang menelungkub). Tidak jauh dari tempat itu terdapat tunggul
pohon sisa dari tebangan Sangkuriang, sekarang kita mengenalnya sebagai Bukit Tunggul.
Bendungan yang dibuat Sangkuriang menyebabkan seluruh bukit dipenuhi air dan
membentuk sebuah danau dimana Sangkuriang dan Dayang Sumbi menenggelamkan diri
dan tidak terdengar lagi kabarnya hingga kini.
Kisah Ande-Ande Lumut (Cerita Rakyat Jawa Timur)
Dahulu
kala, ada dua buah kerajaan, Kediri dan Jenggala. Kedua kerajaan itu
berasal dari sebuah kerajaan yang bernama Kahuripan. Raja Erlangga membagi
kerajaan itu menjadi dua untuk menghindari perang saudara. Namun sebelum
meninggal raja Erlangga berpesan bahwa kedua kerajaan itu harus disatukan
kembali.
Maka
kedua raja pun bersepakat menyatukan kembali kedua kerajaan dengan menikahkan
putera mahkota Jenggala, Raden Panji Asmarabangun dengan puteri Kediri, Dewi
Sekartaji.
Ibu
tiri Sekartaji, selir raja Kediri, tidak menghendaki Sekartaji menikah dengan
Raden Panji karena ia menginginkan puteri kandungnya sendiri yang nantinya
menjadi ratu Jenggala. Maka ia menyekap dan menyembunyikan Sekartaji dan
ibunya.
Pada
saat Raden Panji datang ke Kediri untuk menikah dengan Sekartaji, puteri itu
sudah menghilang. Raden Panji sangat kecewa. Ibu tiri Sekartaji membujuknya
untuk tetap melangsungkan pernikahan dengan puterinya sebagai pengganti
Sekartaji, namun Raden Panji menolak.
Raden
Panji kemudian berkelana. Ia mengganti namanya menjadi Ande-Ande Lumut. Pada
suatu hari ia tiba di desa Dadapan. Ia bertemu dengan seorang janda yang biasa
dipanggil Mbok Randa Dadapan. Mbok Randa mengangkatnya sebagai anak dan sejak
itu ia tinggal di rumah Mbok Randa.
Ande-Ande
Lumut kemudian minta ibu angkatnya untuk mengumumkan bahwa ia mencari calon
isteri. Maka berdatanganlah gadis-gadis dari desa-desa di sekitar Dadapan untuk
melamar Ande-Ande Lumut. Tak seorangpun ia terima sebagai isterinya.
Sementara
itu, Sekartaji berhasil membebaskan diri dari sekapan ibu tirinya. Ia berniat
untuk menemukan Raden Panji. Ia berkelana hingga tiba di rumah seorang janda
yang mempunyai tiga anak gadis, Klething Abang, Klething Ijo dan si bungsu
Klething Biru. Ibu janda menerimanya sebagai anak dan diberi nama Klething
Kuning.
Klething
Kuning disuruh menyelesaikan pekerjaan sehari-hari dari membersihkan rumah,
mencuci pakaian dan peralatan dapur. Pada suatu hari karena kelelahan Klething
Kuning menangis. Tiba-tiba datang seekor bangau besar. Klething Kuning hampir
lari ketakutan. Namun bangau itu berkata, “Jangan takut, aku datang untuk
membantumu.”
Bangau
itu kemudian mengibaskan sayapnya dan pakaian yang harus dicuci Klething Kuning
berubah menjadi bersih. Peralatan dapur juga dibersihkannya. Setelah itu bangau
terbang kembali.
Bangau
itu kembali setiap hari untuk membantu Klething Kuning. Pada suatu hari bangau
menceritakan tentang Ande-Ande Lumut kepada Klething Kuning dan menyuruhnya
pergi melamar.
Klething
Kuning minta ijin kepada ibu angkatnya untuk pergi ke Dadapan. Ibunya
mengijinkan ia pergi bila pekerjaannya sudah selesai. Ia pun sengaja menyuruh
Klething Kuning mencuci sebanyak mungkin pakaian agar ia tidak dapat pergi.
Sementara
itu ibu janda mengajak ketiga anak gadisnya ke Dadapan untuk melamar Ande-Ande
Lumut. Di perjalanan mereka tiba di sebuah sungai yang sangat lebar. Tidak ada
jembatan atau perahu yang melintas. Mereka kebingungan. Lalu mereka melihat
seekor kepiting raksasa menghampiri mereka.
“Namaku
Yuyu Kangkang. Kalian mau kuseberangkan?”
Mereka
tentu saja mau.
“Tentu
saja kalian harus memberiku imbalan.”
“Kau
mau uang? Berapa?” tanya ibu janda.
“Aku
tak mau uangmu. Anak gadismu cantik-cantik. Aku mau mereka menciumku.’
Mereka
terperanjat mendengar jawaban Yuyu Kangkang. Namun mereka tidak mempunyai
pilihan lain. Akhirnya mereka setuju. Kepiting raksasa itu menyeberangkan
mereka satu persatu dan mereka pun memberikan ciuman sebagai imbalan.
Sesampainya
di rumah mbok Randa, mereka minta bertemu dengan Ande-Ande Lumut.
Mbok
Randa mengetuk kamar Ande-Ande Lumut, katanya, “Puteraku, lihatlah, gadis-gadis
cantik ini ingin melamarmu. Pilihlah satu sebagai isterimu.”
“Ibu,”
sahut Ande-Ande Lumut, “Katakan kepada mereka, aku tidak mau mengambil kekasih
Yuyu Kangkang sebagai isteriku.”
Ibu
Janda dan ketiga anak gadisnya terkejut mendengar jawaban Ande-Ande Lumut.
Bagaimana pemuda itu tahu bahwa mereka tadi bertemu dengan kepiting raksasa
itu? Dengan kecewa mereka pun pulang.
Di
rumah, Klething Kuning sudah menyelesaikan semua tugasnya berkat bantuan bangau
ajaib. Bangau itu memberinya sebatang lidi.
Ketika
ibu angkatnya kembali Klething Kuning sekali lagi meminta ijin untuk pergi
menemui Ande-Ande Lumut. Ibu angkatnya terpaksa mengijinkan, namun ia sengaja
mengoleskan kotoran ayam ke punggung Klething Kuning.
Klething
Kuning pun berangkat. Tibalah ia di sungai besar. Kepiting raksasa itu
mendatanginya untuk menawarkan jasa membawanya ke seberang sungai.
“Gadis
cantik, kau mau ke seberang? Mari kuantarkan,” kata Yuyu Kangkang
“Tidak
usah, terima kasih” kata Klething Kuning sambil berjalan menjauh.
“Ayolah,
kau tak perlu membayar,” Yuyu Kangkang mengejarnya.”Cukup sebuah ci... Aduh!”
Klething
Kuning mencambuk Yuyu Kangkang dengan lidi pemberian bangau. Kepiting raksasa
itu pun lari ketakutan.
Klething
Kuning kemudian mendekati tepi air sungai dan menyabetkan lidinya sekali lagi.
Air sungai terbelah, dan ia pun bisa berjalan di dasar sungai sampai ke
seberang.
Klething
Kuning akhirnya tiba di rumah Mbok Randa. Mbok Randa menerimanya sambil
mengernyitkan hidung karena baju Klething Kuning bau kotoran ayam. Ia pun
menyilakan gadis itu masuk lalu ia pergi ke kamar Ande-Ande Lumut.
“Ande
anakku, ada seorang gadis cantik, tetapi kau tak perlu menemuinya. Bajunya bau
sekali, seperti bau kotoran ayam. Biar kusuruh ia pulang saja.”
“Aku
akan menemuinya, Ibu,” kata Ande-Ande Lumut.
“Tetapi...
ia...,” sahut Mbok Randa.
“Ia
satu-satunya gadis yang menyeberang tanpa bantuan Yuyu Kangkang, ibu. Ialah
gadis yang aku tunggu-tunggu selama ini.”
Mbok
Randa pun terdiam. Ia mengikuti Ande-Ande Lumut menemui gadis itu.
Klething
Kuning terkejut sekali melihat Ande-Ande Lumut adalah tunangannya, Raden Panji
Asmarabangun.
“Sekartaji,
akhirnya kita bertemu lagi,” kata Raden Panji.
Raden
Panji kemudian membawa Dewi Sekartaji dan Mbok Randa Dadapan ke Jenggala. Raden
Panji dan Dewi Sekartaji pun menikah. Kerajaan Kediri dan Jenggala pun
dipersatukan kembali.
Cerita Rakyat Jawa Timur
ASAL MULA KOTA SURABAYA
Dahulu, di lautan luas
sering terjadi perkelahian antara ikan hiu Sura dengan Buaya. Mereka berkelahi
hanya karena berebut mangsa. Keduanya sama-sama kuat, sama-sama tangkas,
sama-sama cerdik, sama-sama ganas, dan sama-sama rakus. Sudah berkali-kali
mereka berkelahi belum pernah ada yang menang atau pun yang kalah. Akhimya
mereka mengadakan kesepakatan.
“Aku bosan terus-menerus
berkelahi, Buaya,” kata ikan Sura.
“Aku juga, Sura. Apa
yang harus kita lakukan agar kita tidak lagi berkelahi?” tanya Buaya.
Ikan Hiu Sura yang sudah
memiliki rertcana untuk menghentikan perkelahiannya dengan Buaya segera
menerangkan.
“Untuk mencegah
perkelahian di antara kita, sebaiknya kita membagi daerah kekuasaan menjadi
dua. Aku berkuasa sepenuhnyadi dalam air dan harus mencari mangsa di dalam air,
sedangkan kamu berkuasa di daratan dan mangsamu harus yang berada di daratan.
Sebagai batas antara daratan dan air, kita tentukan batasnya, yaitu tempat yang
dicapai oleh air laut pada waktu pasang surut!”
“Baik aku setujui
gagasanmu itu!” kata Buaya.
Dengan adanya pembagian
wilayah kekuasaan, maka tidak ada perkelahian lagi antara Sura dan Buaya.
Keduanya telah sepakat untuk menghormati wilayah masing-masing.
Tetapi pada suatu hari,
Ikan Hiu Sura mencari mangsa di sungai. Hal ini dilakukan dengan
sembunyi-sembunyi agar Buaya tidak mengetahui. Mula-mula hal ini memarig tidak
ketahuan. Tetapi pada suatu hari Buaya memergoki perbuatan Ikan Hiu Sura ini.
Tentu saja Buaya sangat marah melihat Ikan Hiu Sura melanggar janjinya.
“Hai Sura, mengapa kamu
melanggar peraturan yang telah kita sepakati berdua? Mengapa kamu berani
memasuki sungai yang merupakan wilayah kekuasaanku?” tanya Buaya.
Ikan Hiu Sura yang tak
merasa bersalah tenang-tenang saja. “Aku melanggar kesepakatan? Bukankah sungai
ini berair.
Bukankah aku sudah bilang
bahwa aku adalah penguasa di air? Nah, sungai ini ‘kan ada airnya, jadi juga
termasuk daerah kekuasaanku,” kata Ikan Hiu Sura.
“Apa? Sungai itu ‘kari
tempatnya di darat, sedangkan daerah kekuasaanmu ada di laut, berarti sungai
itu adalah daerah kekuasaanku!” Buaya ngotot.
“Tidak bisa. Aku “kan
tidak pernah bilang kalau di air hanya air laut, tetapi juga air sungai,” jawab
Ikan Hiu Sura.
“Kau sengaja mencari
gara-gara, Sura?”
“Tidak! Kukira alasanku
cukup kuat dan aku memang di pihak yang benar!” kata Sura.
“Kau sengaja
mengakaliku. Aku tidak sebodoh yang kau kira!” kata Buaya mulai marah.
“Aku tak peduli kau
bodoh atau pintar, yang penting air sungai dan air laut adalah kekuasaanku!”
Sura tetap tak mau kalah.
“Kalau begitu kamu
memang bermaksud membohongiku ? Dengan demikian perjanjian kita batal! Siapa
yang memiliki kekuatan yang paling hebat, dialah yang akan menjadi penguasa
tunggal!” kata Buaya.
“Berkelahi lagi, siapa
takuuut!” tantang Sura dengan pongahnya.
Pertarungan sengit
antara Ikan Hiu Sura dan Buaya terjadi lagi. Pertarungan kali ini semakin seru
dan dahsyat. Saling menerjang dan menerkam, saling menggigit dan memukul. Dalam
waktu sekejap, air di sekitarnya menjadi merah oleh darah yang keluar dari
luka-luka kedua binatang itu. Mereka terus bertarung mati-matian tanpa
istirahat sama sekali.
Dalam pertarungan
dahsyat ini, Buaya mendapat gigitan Ikan Hiu Sura di pangkal ekornya sebelah
kanan. Selanjutnya, ekornya itu terpaksa selalu membelok ke kiri. Sementara
ikan Sura juga tergigiut ekornya hingga hampir putus lalu ikan Sura kembali ke
lautan. Buaya puas telah dapat mempertahankan daerahnya.
Pertarungan antara Ikan
Hiu yang bernama Sura dengan Buaya ini sangat berkesan di hati masyarakat
Surabaya. Oleh karena itu, nama Surabaya selalu dikait-kaitkan dengan peristiwa
ini. Dari peristiwa inilah kemudian dibuat lambang Kota Madya Surabaya yaitu
gambar ikan sura dan buaya.
Namun adajugayang
berpendapat Surabaya berasal dari Kata Sura dan Baya. Sura berarti Jaya atau
selamat Baya berarti bahaya, jadi Surabaya berarti selamat menghadapi bahaya.
Bahaya yang dimaksud adalah serangah tentara Tar-tar yang hendak menghukum Raja
Jawa.Seharusnya yang dihukum adalah Kertanegara, karena Kertanegara sudah tewas
terbunuh, maka Jayakatwang yang diserbu oleh tentara Tar-tar. Setelah
mengalahkan Jayakatwang orang-orang Tar-Tar merampas harta benda dan puluhan
gadis-gadis cantik untuk dibawa ke Tiongkok. Raden Wijaya tidak terima
diperlakukan sepereti ini. Dengan siasat yang jitu, Raden Wijaya menyerang
tentara Tar-Tar di pelabuhan Ujung Galuh hingga mereka menyingkir kembali ke
Tiongkok.
Selanjutnya, dari hari
peristiwa kemenangan Raden Wijaya inilah ditetapkan sebagai hari jadi Kota
Surabaya.
Surabaya sepertinya
sudah ditakdirkan untuk terus bergolak. Tanggal 10 Nopmber 1945 adalah bukti
jati diri warga Surabaya yaitu berani menghadapi bahaya serangan Inggris dan
Belanda.
Di jaman sekarang,
pertarungan memperebutkan wilayah air dan darat terus berlanjut. Di kala musim
penghujan tiba kadangkala banjir menguasai kota Surabaya. Di musim kemarau
kadangkala tenpat-tempat genangan air menjadi daratan kering. Itulah Surabaya.